Kamis, 23 Juni 2016

Diam-diam Simpatik

Mulanya kubertemu dengan orang itu rasanya biasa saja. Kenal pun cuman tahu muka doang. Lalu karena teman-teman sering memanggilnya sehingga tanpa sadar dan dengan sendirinya kumenjadi tahu siapakah nama orang itu.

Suatu ketika kubertemu dengan orang itu di sekolah. Tentu saja kuterkejut. Kukira orang itu bekerja sebagai buruh bangunan di sekolah itu. Eh ternyata salah. Tahu-tahu siswa-siswi memanggil orang itu dengan sebutan "guru". Oh orang itu guru toh rupanya. Iya sih orang itu memang nampak lembutnya. Alhamdulillah kan dan itu namanya anugerah Ilahi. Hehe... jadi muji orang itu deh.

Saya kan termasuk guru pendatang baru di sekolah itu dan alhamdulillah bisa cepat membaur dengan guru-guru lainnya. Ya memang guru-guru di sekolah itu kece-kece abis lah. Lalu di hari awal kerja dan tiap ketemu orang itu saya berilah senyuman manisku. Sayang senyuman itu tak dibalas senyum manis juga. Cuman balasan tatapan mata yang kosong alias tak memiliki arti alias bingung lah mengartikan apa maksud tatapannya.
Karena tiap kali tersenyum tak direspon baik maka sejak saat itu saya tak lagi menebar senyum pada orang itu. Bahkan jikalau mau berpapasan maka saya tunduk aja. Jika berada pada ruangan yang sama maka kuanggap orang itu tak berada disitu. Mungkin sikap dinginnya itu adalah teguran bagiku agar tak menebar senyum pada lawan jenis. Tetep positif thinking aja lah. Hehe... 

Selang beberapa waktu kemudian terjadi tragedi yang menyangkut amanahnya di struktur. Orang itu punya amanah maka begitupun denganku yang dipercayakan dengan amanah itu. Saya sudah meminta izin pada kedua bidang di struktur itu tapi sepertinya itu tak diterima oleh ketua bidang yang lain. Saya cuman bisa pasrah karena tak tahu mesti berbuat apa. Kuserahkan persoalan itu pada ketua bidangku karena saya bertugas sebagai anggota. Sejak tragedi itu saya jadi agak minder sama orang itu. Kalau bisa jangan sampai ketemu deh.

Namun, takdir berkata lain dengan mempertemukan kami kembali pada amanah di bidang yang sama di bulan Ramadhan 1437 H. Allahu Akbar. Memang ya kalau sudah saudara maka takkan bisa putus kecuali kafir dan kematian. Orang itu memang nyaman diajak kerjasama. Lagipula orang itu lebih dulu terjun pada amanah itu jadi tentu saya mesti belajar dari orang itu.

Pernah ya suatu ketika saya datang ke sekret siang-siang lalu meminta izin untuk dibukakan pintu. Biasanya ya kalau ada akhwat yang datang maka ikhwan kan mesti pura-pura tak lihat kek, pura-pura tak kenal kek atau pura-pura apalah itu. Eh dia mah beda. Malah saya dilihatin mulu, kan jadi saling menangkap pandangan. Saya kan tak sengaja melihat. Kalau orang itu sengaja or tak sengaja saya tak tahu lah. Maksudku mengapa ia tak pura-pura aja. Ya mungkin karena ia refleks melihat sumber suara salam kali ya. Hehe... mulai kegeeran deh saya. La la la la la...

Sekarang saya sama orang itu sudah lebih cair alias tak kaku lagi. Kadang panggil "akh", "pak guru" atau langsung panggil nama. Tergantung apa yang dipikiran dan terucap di lisanku ini. Yang penting tidak panggil cin, say atau panggilan sayang lainnya. Kan bisa berabe jika macam itu. Hahaha...

Kalau ingat orang itu seolah ingat adikku sendiri. Untungnya macam begitu. Jangan sekali-kali berulah. Cukuplah dengan ulahku yang kemarin-kemarin itu.

Salam semangat dan kasih dari Rahmah Sholeha untuk "orang itu".  

Hari Kartini di Sekolah, main-main balon lah kita

Studi Wisata Alam di Pantai Nambo, belajar dan bermain sungguh mengasyikkan