Penyusun: Ummu Sufyan
Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar
bin Tsa’labah Ghanam bin Auf. Suaminya adalah saudara dari Ubadah bin Shamit,
yaitu Aus bin Shamit bin Qais. Aus bin Shamit bin Qais termasuk sahabat
Rasulullah yang selalu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam peperangan, termasuk perang Badar dan perang Uhud. Anak mereka bernama
Rabi’.
Suatu hari, Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya
sedang menghadapi suatu masalah. Masalah tersebut kemudian memicu kemarahannya
terhadap Khaulah, sehingga dari mulut Aus terucap perkataan, “Bagiku,
engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar dan duduk-duduk
bersama orang-orang. Beberapa lama kemudian Aus masuk rumah dan ‘menginginkan’
Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya
menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali
terjadi dalam sejarah islam (yaitu dhihaar). Khaulah berkata, “Tidak…
jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh
menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan
terhadapku sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang
menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa
tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami
belum pernah mendapatkan perintah berkenaan dengan urusanmu tersebut… aku tidak
melihat melainkan engkau sudah haram baginya.” Sesudah itu Khaulah
senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan
kesedihan dan kesusahan. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu
tentang peristiwa yang menimpa diriku.” Tiada henti-hentinya wanita ini
ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian
setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar, beliau
bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an
tentang dirimu dan suamimu.” kemudian beliau membaca firman Allah yang
artinya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat…..” sampai firman Allah: “Dan bagi
orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mujadalah:1-4)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihaar, yaitu memerdekakan budak,
jika tidak mampu memerdekakan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut atau
jika masih tidak mampu berpuasa maka memberi makan sebanyak enam puluh orang
miskin.
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh islam, wanita yang
telah menghentikan khalifah Umar bin Khaththab saat berjalan untuk memberikan
wejangan dan nasehat kepadanya. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, “Demi
Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari
maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia
kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka saya akan mengerjakan
shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga selesai keperluannya.”
Alangkah bagusnya akhlaq Khaulah, beliau berdiri di hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdialog untuk meminta
fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan hanya kepada
Allah Ta’ala. Beliau berdo’a tak henti-hentinya dengan penuh harap, penuh
dengan kesedihan dan kesusahan serta penyesalan yang mendalam. Sehingga do’anya
didengar Allah dari langit ketujuh.
Allah berfirman yang artinya, “Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari beribadah (berdo’a) kepada–Ku akan masuk neraka Jahannam dalam
keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi itu Maha Malu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika
hamba-Nya mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk mengembalikan keduanya
dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan
Ibnu Majah)
Hikmah
Tidak setiap do’a langsung dikabulkan oleh Allah. Ada
faktor-faktor yang menyebabkan do’a dikabulkan serta adab-adab dalam berdo’a,
diantaranya:
- Ikhlas karena Allah semata adalah syarat yang paling utama dan pertama, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Al-Mu’min: 14)
- Mengawali do’a dengan pujian dan sanjungan kepada Allah, diikuti dengan bacaan shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diakhiri dengan shalawat lalu tahmid.
- Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do’a serta yakin akan dikabulkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khaulah binti Tsa’labah radhiyallahu ‘anha.
- Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo’a, tidak terburu-buru serta khusyu’ dalam berdo’a.
- Tidak boleh berdo’a dan memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah semata.
- Serta hal-hal lain yang sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain hal-hal di atas, agar do’a kita terkabul maka
hendaknya kita perhatikan waktu, keadaan, dan tempat ketika kita berdo’a.
Disyari’atkan untuk berdo’a pada waktu, keadaan dan tempat yang mustajab untuk
berdo’a. Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang penting bagi terkabulnya
do’a. Diantara waktu-waktu yang mustajab tersebut adalah:
- Malam Lailatul qadar.
- Pertengahan malam terakhir, ketika tinggal sepertiga malam yang akhir.
- Akhir setiap shalat wajib sebelum salam.
- Waktu di antara adzan dan iqomah.
- Pada saat turun hujan.
- Serta waktu, keadaan, dan tempat lainnya yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah memberikan kita taufiq agar kita semakin
bersemangat dan memperbanyak do’a kepada Allah atas segala hajat dan masalah
kita. Saudariku, jangan sekali pun kita berdo’a kepada selain-Nya karena tiada
Dzat yang berhak untuk diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah
kita berputus asa ketika do’a kita belum dikabulkan oleh Allah. Wallahu
Ta’ala a’lam.
Maraji’:
- Wanita-wanita Teladan di Masa Rasulullah (Pustaka At-Tibyan)
- Do’a dan Wirid (Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz – Pustaka Imam Syafi’i)
Artikel www.muslimah.or.id
05/10/2013 @ Kebun Raya Bogor Taman Anggrek